JEMBATAN bernama “BRIEF”: PEMBATAS EGO PEBISNIS & DESAINER

jembatan antara klien dengan desainer

Brief Pembatas Ego Pebisnis dan Desainer

EGO!

Setiap orang apapun latar belakang profesinya tidak pernah terlepas dari ego masing-masing. Pedagang memiliki ego agar produknya habis terjual dan mendapat keuntungan besar. Ego seorang pengrajin yaitu konsumen puas dan karyanya menjadi masterpiece yang diakui masyarakat luas. Seorang penulis novel punya ego karyanya dibaca banyak orang dan bisa menjadi inspirasi bagi pembacanya. Hal ini juga berlaku untuk profesi lain, termasuk pebisnis dan desainer, yang menjadi bahasan utama dalam artikel ini.

Sebagaimana telah saya paparkan di artikel sebelumnya bahwa pebisnis dan desainer memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Pebisnis meng-hire desainer untuk mempromosikan, mengiklankan, serta membangun brand image pebisnis. Desainer memerlukan project dari klien (pebisnis) untuk memperoleh income sekaligus membangun reputasi dirinya sebagai problem solver. Percaya atau tidak, meskipun menjalin hubungan yang saling menguntungkan, keduanya terikat oleh ego masing-masing yang berbeda sudut pandang. Ego pebisnis sebagai klien bagi desainer berbeda dengan ego desainer sebagai pekerja kreatif bagi pebisnis.

Pebisnis sebagai klien tentunya memahami prinsip ekonomi “menggunakan modal seminimal mungkin untuk memperoleh keuntungan semaksimal mungkin”. Hal ini mengingatkan kita pada istilah satire “Desain Gratis”. Pebisnis bisa jadi berpikir “jika desainer bisa dibayar murah, mengapa harus membayar mahal”. Di sisi lain, desainer memiliki ego personal branding-nya. Desainer tidak terlepas dari keinginannya memasang tarif mahal serta idealismenya dalam menentukan konten karya melalui penggunaan gaya desain, gaya visual, warna, jenis huruf, serta atribut desain lain yang sesuai seleranya. Sudut pandang pebisnis mengarah pada anggapan bahwa dengan membayar desainer, pebisnis seolah bisa meminta apapun dan berpikir desainer mampu memenuhi semua keinginan klien. Begitu juga dengan sudut pandang desainer bahwa dengan menawarkan harga desain yang mahal, klien bakal menyanggupi tawaran yang diajukan dan memberi kebebasan penuh dalam proses berkarya. Fakta di lapangan, ego kedua pihak tidak serta merta bertemu secara positif sebagaimana diilustrasikan melalui gambar berikut.

brief pembatas ego pebisnis dan desainer

Gambar 1. Prinsip bisnis desain

Sumber: https://twitter.com/muistravel/status/704527408741756928/photo/1

Gambar di atas merupakan pengembangan dari teori Segitiga Manajemen Proyek (the triangle of Project Management theory) yang membahas hubungan tiga variabel yakni: harga, kualitas, dan waktu. Profesi desainer termasuk bidang jasa, sehingga relevan dengan teori tersebut. Tiga realita yang tergambarkan dalam prinsip dasar bisnis jasa desain yaitu:

1) jika klien menginginkan desain yang bagus dan murah, maka jangan harap bisa cepat (waktunya);

2) jika klien menginginkan desain yang murah dan cepat, maka jangan harap bisa bagus (kualitasnya);

3) jika klien menginginkan desain yang cepat dan bagus, maka jangan harap bisa murah (harganya). Hal ini menunjukkan bahwa mustahil untuk menciptakan desain yang cepat, bagus, dan murah sekaligus! Kecuali jika desainernya adalah pebisnis itu sendiri!

Ketiga kondisi tersebut menjadi senjata bagi desainer dalam menjawab permintaan dan keinginan klien yang terkadang tidak masuk akal. Teori di atas secara tidak langsung membela kaum desainer. Namun, selalu menggunakan alasan tersebut bisa menjadi bumerang / masalah tersendiri bagi desainer. Pebisnis sebagai klien akan bersikap realistis dengan cara mencari desainer lain yang mudah dinegosiasi tanpa perlu berdebat panjang lebar. Jika problem ini terjadi secara terus-menerus dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin reputasi profesi desainer akan jatuh. Ide-ide brilian tidak akan ada manfaatnya. Proses kreatif mungkin tidak lagi diperlukan. Hasil desain yang spektakuler tidak akan mendapat pengakuan. Hal ini menyiratkan bahwa ego pebisnis dan desainer sama besarnya dan tidak mudah untuk mengalah satu sama lain, yang akhirnya keduanya tidak bisa meraih tujuan yang dibutuhkan kedua belah pihak: pengembangan bisnis milik klien maupun pembuktian reputasi profesi milik desainer. Lantas, apa yang diperlukan agar keduanya bisa meredam ego masing-masing dan terjalin kesepakatan yang saling bermanfaat untuk satu sama lain? Apa yang bisa menjembatani sekaligus membatasi ego keduanya agar hubungan mutualisme tetap berjalan sebagaimana mestinya?

Jawabannya yaitu “BRIEF”!

Brief menjadi “jembatan” yang bisa meredam dan menurunkan masing-masing ego baik pebisnis maupun desainer agar terjadi win – win solution, sama-sama menguntungkan kedua belah pihak untuk menghindari kesalahpahaman. Dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang Desain Komunikasi Visual tahun 2016, brief terbagi menjadi dua jenis yakni Project Brief dan Design Brief. SKKNI halaman 26 menjelaskan Project Brief merupakan deskripsi singkat project desain dari klien yang berisi informasi permasalahan atau kebutuhan klien (baik berupa verbal maupun tertulis). Selanjutnya, pada halaman 29 dijelaskan Design Brief merupakan panduan dan rincian sistematis yang dikembangkan oleh desainer berfokus pada hasil yang diinginkan dari sebuah desain (berbentuk tertulis maupun verbal). Dari definisi di atas bisa disimpulan bahwa project brief dibuat oleh klien dan design brief dibuat oleh desainer. Keduanya memiliki persamaan yakni tidak ada bentuk yang baku.

jembatan antara klien dengan desainer

Gambar 2. Brief sebagai “jembatan” antara klien dengan desainer

Sumber: Toto Haryadi, 2020

Bagaimana peran jembatan “brief” membangun hubungan positif antara pebisnis dengan desainer?

Brief dibutuhkan untuk saling memahami apa yang diajukan pebisnis dengan apa yang ditawarkan desainer, juga untuk membatasi aktivitas dan intervensi yang terlalu jauh antara keduanya. Melalui project brief, pebisnis memberi instruksi kepada desainer untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami klien serta merancang apa saja yang dibutuhkan klien. Secara tidak langsung, dalam proses ini, desainer menjadi pihak yang harus mengerti permintaan klien, karena desainer dibutuhkan untuk menghasilkan solusi kreatif sesuai permasalahan yang ada. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh desainer dalam proses kreatif perancangan, serta tujuan apa yang harus dicapai desainer bisa diatur dalam project brief yang telah ditetapkan klien. Ini sekaligus berperan untuk meredam ego idealisme desainer yang sewaktu-waktu bisa mengganggu tujuan akhir yang telah ditentukan. Desainer harus memainkan perannya sebagai problem solver untuk memahami dan menerjemahkan project brief. Bukan sebagai seniman yang bebas berkarya berkreasi tanpa dibatasi aturan.

Melalui brief pembatas ego pebisnis dan desainer, desainer menawarkan solusi yang dibutuhkan serta bisa mengajukan negosiasi durasi pengerjaan, media yang akan dirancang, data apa saja yang dibutuhkan, soal harga, jumlah termin pembayaran, jumlah maksimal revisi karya yang boleh diajukan klien, dan sebagainya. Secara tidak langsung, pebisnis perlu berupaya memahami tawaran solusi dari desainer. Kesepakatan antara pebisnis dengan desainer terkait permasalahan dan solusi yang ditawarkan serta negosiasi hal-hal lainnya bisa dituangkan dalam design brief sehingga antara pebisnis dengan desainer sama – sama terikat dan tidak bisa mengubah kesepakatan seenaknya.

Pebisnis tidak bisa menambah atau mengubah pekerjaan untuk desainer secara tiba-tiba, tidak bisa meminta revisi melebihi dari jumlah yang disepakati, tidak bisa mengubah harga (menurunkan) secara sepihak, tidak bisa meminta percepatan pengerjaan dari waktu yang telah ditentukan, serta tidak bisa membatalkan sepihak karena ada desainer lain yang bersedia dibayar lebih rendah.

Begitu juga desainer.

Desainer tidak bisa tiba-tiba membatalkan pekerjaan dengan alasan ada pekerjaan lain yang dananya lebih besar, tidak boleh melempar project ini kepada desainer lain, tidak boleh mengubah identitas perusahaan milik pebisnis yang terimplementasi dalam elemen visual seperti logo, warna, atribut lainnya, tidak boleh mengurangi luaran karya yang dirancang, serta tidak boleh melakukan tindakan plagiasi dalam proses kreatif. 

Hubungan antara pebisnis dengan desainer tidak sesederhana apa yang dipikirkan kebanyakan orang. Klien membayar karya yang dirancang desainer. Bukan itu! Yang diperlukan justru rasa pengertian saling memahami hak, kewajiban, serta tanggung jawab masing-masing baik untuk pebisnis maupun untuk desainer agar tercipta hubungan positif saat mulai kontrak awal pekerjaan hingga penyerahan hasil kreatif media komunikasi visual beserta pembayaran jasanya.

 

Terima kasih,

Toto Haryadi, S.Sn, M.Ds

Dosen DKV UDINUS & Praktisi Multimedia

083877060720 / [email protected]

2 comments

  1. Yang menjadi challange di era sekarang adalah bagaimana menghadirkan produk, berkualitas dengan harga murah. Begitupun dengan desain. Lahirnya teknologi memungkinkan itu, lihat canva yang akan mengeliminir ego sentris desainer. Begitupun juga wix.

    1. yes. strategi tersebut sudah mulai menjadi tren bisnis sekarang, dimana ketiga aspek: berkualitas, cepat dan murah dapat hadir bersamaan. murah disini pada hakikatnya adalah “tampak” murah karena bisnis model tersebut yang membuatnya demikian. Teori ini bisa dipelajari dengan istilah Two-side Market, dimana perusahaan mensubsidi satu market untuk dapat market yang lebih baik secara keuntungan jangka panjang. Istilah lainnya adalah Freemium.

      Semoga menjawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *